Perairan Nusantara di kawasan Papua dan Maluku menjadi rumah bagi biota laut hiu berjalan yang sangat langka. Indonesia menjadi rumah bagi lima dari sembilan spesies langka tersebut.
Membicarakan keanekaragaman hayati Indonesia tidak akan pernah ada habisnya. Hutan dan samudra serta flora-fauna yang terdapat di dalamnya merupakan bagian tak terpisahkan dari kekayaan alam Nusantara. Misalnya, spesies ikan hiu yang banyak menghuni perairan di Indonesia.
Hiu adalah jenis ikan dalam subkelas Elasmobranchii atau ikan bertulang rawan dan tersebar di laut samudra serta air tawar. Karakter biologis hiu, di antaranya, berumur panjang, laju reproduksinya (fekunditas) tergolong rendah, dan jumlah anakannya sedikit.
Menurut catatan Kementerian Kelautan dan Perikanan, di perairan Nusantara hidup sekitar 117 spesies hiu dalam 25 suku. Ini menegaskan bahwa Indonesia adalah negara dengan keanekaragaman hayati laut sangat tinggi di dunia. Beberapa spesies hiu tersebut masuk kategori endemik, artinya hanya bisa ditemukan di perairan Nusantara saja dan belum tentu bisa dijumpai di wilayah lainnya di dunia.
Salah satunya adalah hiu berjalan (walking shark) yang tergolong ke dalam genus Hemiscyllium dan hidup nokturnal di dasar perairan. Ia memiliki beberapa ciri khusus, seperti warna dasar tubuhnya cokelat muda dengan totol-totol cokelat tua dan putih yang tersebar berselang-seling di sekujur tubuhnya.
Di kegelapan malam, makhluk bersirip ini mulai mengendap-endap keluar dari persembunyiannya di balik terumbu karang. Tak seperti kebanyakan spesies sejenisnya, hiu ini justru menggunakan kedua sirip dadanya untuk merangkak di dasar laut yang berpasir atau berbatu. Jika spesies hiu umumnya bertubuh panjang besar dengan deretan gigi tajamnya, tak demikian dengan spesies satu ini. Tubuhnya mungil, dengan panjang antara 50-80 sentimeter dan ukuran terkecil bisa menyentuh 20 cm.
Santapannya adalah udang, kepiting, ikan kecil, moluska, siput, dan cumi yang bersembunyi di balik terumbu karang. Hiu ini memiliki distribusi terbatas, karena tidak mampu berenang menyeberangi laut yang dalam, meskipun hanya berjarak beberapa kilometer, sehingga hiu berjalan merupakan biota endemik. Hiu itu mudah dijumpai mulai di kedalaman dasar laut, mulai dua meter hingga 15 meter.
Sebanyak sembilan spesies hiu berjalan telah teridentifikasi hidup di dunia dengan persebaran secara terbatas di wilayah cincin utara benua Australia, Papua Niugini, Papua Barat, Halmahera, dan Aru. Dari jumlah tersebut, lima di antaranya dapat ditemui di perairan Indonesia. Demikian diungkapkan jurnal ilmiah Marine and Freshwater Research yang dipublikasikan pada 21 Januari 2020. Ini merupakan hasil penelitian bersama yang dilakukan sejumlah pakar zoologi oseanografi asal Indonesia, Amerika Serikat, dan Australia.
Mereka mewakili sejumlah lembaga penelitian seperti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Conservation International (CI) Indonesia, California Academy of Sciences, dan Australian National Fish Collection. Ada pula Department of Aquatic Zoology, Western Australian Museum dan Florida Museum of Natural History.
Selama sekitar 12 tahun mereka habiskan untuk penelitian ini dan dipublikasikan pertama kali pada 11 Januari 2017 melalui laman situs CI. Kelima spesies itu adalah hiu berjalan Raja Ampat (Hemiscyllium freycineti) yang ditemukan pertama kali pada 1824 silam. Kemudian ada hiu berjalan Teluk Cenderawasih (Hemiscyllium galei) dan hiu berjalan Teluk Triton Kaimana (Hemiscyllium henryi) yang ditemukan pada 2008. Selain itu ada hiu berjalan Halmahera (Hemiscyllium halmahera) yang ditemukan pada 2007 dan dipublikasikan 2013 oleh penemunya, Mark V Erdmann dari CI Marine Program lewat Aqua-Journal of Ichthyology.
Sementara itu, satu spesies lagi, adalah hiu berjalan Hemiscyllium trispeculare yang ditemukan di perairan Kepulauan Aru, Maluku. Spesies tersebut tidak masuk endemik, karena bisa ditemukan juga di pantai utara dan barat Australia. Salah satu peneliti hiu berjalan dalam penelitian gabungan tersebut, Christine Dudgeon, mengatakan bahwa hiu ini adalah predator teratas di kawasan terumbu karang.
Guru besar zoologi kelautan dari University of Queensland, Australia itu menambahkan kemampuan Hemiscyllium berjalan terutama di perairan dangkal dilakukan untuk bertahan pada lingkungan beroksigen rendah. Ini juga menjadi spesies hiu termuda yang melakukan evolusi sekitar 9 juta tahun lampau. Karena sebagian besar hiu berevolusi sekitar 200 juta tahun lampau.
Biota Dilindungi
Secara taksonomi, ia dikenal juga sebagai hiu tokek atau hiu bambu karena motif pada tubuhnya yang bertotol-totol tadi. Hiu berjalan Raja Ampat bisa ditemui di Kawasan Konservasi Perairan Daerah (KKPD) Misool, Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat. Masyarakat setempat menyebutnya sebagai kalabia dengan ukuran tubuh bervariasi, mulai dari terkecil 20 sentimeter hingga 70 cm. Karenanya ia masuk kategori hiu kecil dan bukan ancaman bagi manusia karena ukuran tubuhnya.
Spesies endemik ini bahkan pada 2020 sudah tercatat dalam Daftar Merah Badan Konservasi Alam Internasional (International Union for Conservation of Nature/IUCN). Statusnya adalah near threatened (NT) atau mendekati terancam dan menjadi kategori paling bawah pada daftar merah (redlist) yaitu risiko rendah.
Menurut peneliti dari Loka Pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Laut Sorong Santoso B Widiarto, kalabia biasa ditemukan pada daerah terumbu karang di kedalaman mulai dua meter dengan permukaan berpasir atau berbatu. Dalam penelitiannya yang dilakukan April 2020, ditemukan fakta bahwa dalam radius 20 kilometer di Misool, terdapat 58 ekor kalabia.
Dalam penelitiannya yang berjudul “Populasi Hiu Berjalan Kalabia di Perairan Misool, Kabupaten Raja Ampat”, Santoso bersama beberapa peneliti lainnya menemukan fakta bahwa hiu terkadang tertangkap oleh jaring ikan nelayan. Saat tertangkap, biasanya hiu berjalan merusak jaring sehingga seringkali nelayan membunuhnya.
Oleh karena itu, Pemerintah Kabupaten Raja Ampat mengeluarkan Peraturan Daerah nomor 9 tahun 2012 tentang Larangan Penangkapan Ikan Hiu, Pari Manta, dan Jenis-jenis Ikan Tertentu di Perairan Laut Raja Ampat. Menurut Fahmi, pakar hiu dari Pusat Penelitian Oseanografi LIPI, kehadiran perda tersebut sekaligus melindungi hiu berjalan di habitat aslinya dari perburuan terutama sebagai ikan hias karena bernilai jual tinggi di pasar internasional.
Di samping itu, yang tak kalah pentingnya adalah menjaga kelestarian terumbu karang serta padang lamun sebagai tempat pemijahan hiu berjalan. Semakin sehat kondisi terumbu karangnya, maka akan semakin banyak hiu yang singgah termasuk hiu berjalan karena sudah pasti akan ada banyak mangsa sebagai makanan mereka.
Penulis : Anton Setiawan Redaktur : Ratna Nuraini/Elvira Inda Sari