PROSESNEWS.ID – Jembatan di Desa Harapan, Kecamatan Wonosari, bukanlah cerita baru bagi masyarakat setempat. Sejak beberapa tahun lalu, jembatan ini pernah mengalami kerusakan cukup parah akibat banjir yang menerjang. Kala itu, pemerintah turun tangan melakukan perbaikan, namun hanya sebatas perbaikan darurat—sekadarnya, jauh dari kata tuntas.
Awalnya, jembatan tersebut dibangun dengan konstruksi papan kayu. Namun seiring waktu, papan-papan itu mulai lapuk dan tidak lagi layak pakai.
Untuk tetap bisa digunakan, warga dan pihak terkait kemudian menimbunnya dengan material seadanya—campuran pasir dan batu—agar kendaraan tetap bisa melintas. Bukan solusi permanen, tapi sekadar upaya bertahan.
Meski begitu, jembatan tetap menjadi jalur vital. Warga terus menggunakannya, bertaruh dengan risiko yang selalu mengintai. Beberapa kali, jembatan itu menjadi saksi bisu kecelakaan kecil yang menimpa pengendara motor maupun pejalan kaki.
Struktur yang tidak stabil, lubang di mana-mana, hingga pengaman sekadarnya di sisi kiri dan kanan jembatan, membuat setiap langkah menjadi penuh kehati-hatian.
Namun warga tetap melangkah, karena janji perbaikan permanen yang kerap terdengar membuat mereka percaya bahwa suatu saat akan datang masa aman. Tapi masa itu tak kunjung tiba.
Hingga pada Jumat, 11 April 2025, jembatan itu akhirnya benar-benar menyerah. Diterjang banjir deras setelah hujan mengguyur Wonosari sejak siang hari, struktur jembatan ambruk. Tak bisa lagi digunakan. Akses terputus. Dan yang tersisa kini hanyalah puing-puing dan kenangan tentang harapan yang tak pernah benar-benar diwujudkan.
Padahal, kabar perbaikan jembatan tersebut telah berulang kali sampai ke telinga masyarakat. Anggaran juga disebut-sebut sudah disiapkan, namun realisasi tak kunjung datang. Kini, kerusakan jembatan menjadi bukti nyata bahwa janji itu tidak pernah benar-benar diwujudkan.
Curah hujan yang tinggi membuat sungai-sungai kecil di Wonosari meluap karena ebit air yang besar tak tertampung, menggenangi fasilitas umum seperti SMK Negeri 1 Wonosari, SDN 1 Wonosari, Polsek Wonosari, kantor PLN, Puskesdes Harapan, hingga rumah-rumah warga di sekitarnya.
Meski air surut dengan cepat, genangan itu menyisakan lumpur, kerusakan, dan rasa khawatir, terutama bagi warga yang tinggal hanya beberapa meter dari bibir sungai.
Mereka hidup dalam bayang-bayang air bah yang bisa datang kapan saja. Bukan tanpa alasan, karena setiap hujan turun dengan intensitas tinggi, suara deras sungai terdengar seperti ancaman nyata.
“Kami tidak mengungsi, hanya menunggu air reda. Barang-barang di rumah aman, tapi dinding memang dibuka agar air tidak terperangkap di dalam,” ujar Prajoyo mengutip dari Dulohupa.id, warga yang tinggal tak jauh dari sungai.
Ironisnya, jembatan di Desa Harapan bukan satu-satunya yang rusak. Dalam kurun waktu empat bulan pertama tahun ini, tercatat tiga jembatan di Kecamatan Wonosari mengalami kerusakan, salah satunya di Desa Sari Tani—semuanya memiliki peran vital dalam mendukung mobilitas dan aktivitas warga.
Banjir memang datang karena alam, tapi kerusakan yang dibiarkan bertahun-tahun adalah tanggung jawab manusia. Kini, masyarakat Wonosari tidak hanya berharap pada cuaca yang bersahabat, tetapi juga pada komitmen nyata pemerintah untuk menghadirkan solusi yang sudah terlalu lama ditunggu.