Taman Nasional Lorentz mempunyai kelengkapan ekosistem satu-satunya di dunia, mulai dari kawasan vegetasi alpin bersalju setinggi ribuan meter hingga lahan basah di dataran rendah nol meter dari permukaan laut.
Membicarakan kekayaan alam Papua tidak akan pernah ada habisnya. Pulau paling timur Indonesia itu menyimpan anugerah Tuhan yang begitu luar biasa. Pulau seluas 785.753 kilometer persegi ini berada di dua negara, Indonesia dan Papua Nugini. Sebanyak 418.707,7 km2 di antaranya masuk wilayah Negara Kesatuan RI yang terbagi ke dalam Provinsi Papua dan Papua Barat. Setidaknya terdapat 27 lokasi konservasi alam tersebar merata di kedua provinsi.
Salah satu saksi bisu keajaiban Tuhan di tanah Papua itu adalah Taman Nasional Lorentz. Sebuah pusat konservasi sumber daya alam dan ekosistem seluas 2.328.683,31 hektare seperti yang tertuang di dalam Surat Keputusan Menteri Kehutanan nomor 4645/Menhut-VII/KUH/2014.
Taman nasional terluas di Asia Tenggara itu berada di Provinsi Papua. Saking luasnya, pusat konservasi tersebut memeluk erat sebuah kawasan besar yang meliputi 10 kabupaten, yakni Mimika, Paniai, Intan Jaya, Puncak, Puncak Jaya, Lanny Jaya, Jayawijaya, Yahukimo, Nduga, dan Kabupaten Asmat.
Taman Nasional (TN) Lorentz menjadi satu-satunya kawasan konservasi di dunia dengan kelengkapan ekosistem, menggabungkan lintasan konservasi dengan spektrum ekologi menakjubkan dari kawasan vegetasi alpin, sub-alpin, montana, sub-montana. Mulai dari puncak gunung bergletser Carstenz Pyramid atau Puncak Jaya pada ketinggian 4.884 meter di atas permukaan laut (mdpl), hingga ke lingkungan laut tropis termasuk lahan basah di dataran rendah pada titik nol meter di pesisir Laut Arafura.
Puncak bersaljunya sendiri merupakan fenomena alam sangat langka, hanya ada di tiga tempat lainnya pada kawasan tropis dunia. Dua lainnya yaitu di Pegunungan Andes, rangkaian pegunungan sepanjang 7.000 kilometer, terpanjang di dunia yang melintasi tujuh negara kawasan Amerika Selatan dan Gunung Kilimanjaro di Tanzania.
Pusat konservasi Lorentz adalah rumah bagi 34 tipe vegetasi, di antaranya, hutan rawa, hutan tepi sungai, hutan sagu, hutan gambut, pantai pasir karang, hutan hujan lahan datar/lereng, hutan hujan pada bukit, hutan kerangas, hutan pegunungan, padang rumput, dan lumut kerak.
Jenis-jenis tumbuhan yang tumbuh di sini, antara lain, nipah (Nypa fruticans), bakau (Rhizophora apiculata), Pandanus julianettii, Colocasia esculenta, Avicennia marina, Podocarpus pilgeri, dan Nauclea coadunata.
Pada vegetasi sub-alpin di ketinggian di atas 3.200 mdpl terdapat flora pakis purba (Cyathea atrox) yang diduga telah ada sejak masa Silurian dan Devonian di era paleozoik sekitar 438 juta tahun lampau. Pakis purba itu tak menempel pada batang pohon atau dinding tebing, namun berdiri tegak hingga setinggi 3 meter di area padang rumput dan memiliki batang besar layaknya pohon, berdiameter 20 sentimeter.
Menurut Kepala Balai TN Lorentz Acha Anis Sokoy, sebanyak 630 satwa spesies burung terdapat di sini seperti kasuari (dua jenis), megapoda (empat jenis), merpati (31 jenis), kakatua (30 jenis), dan burung udang (13 jenis). Terdapat pula burung madu (29 jenis), dan 20 jenis endemik di antaranya cendrawasih ekor panjang (Paradigalla caruneulata) dan puyuh salju (Anurophasis monorthonyx).
Satwa mamalia tercatat, antara lain, babi duri moncong panjang (Zaglossus bruijnii), babi duri moncong pendek (Tachyglossus aculeatus), empat jenis kuskus, walabi, kucing hutan. Ada pula kanguru pohon bulu hitam-putih (Dendrolagus mbaiso) dan kanguru pohon bulu emas (Dendrolagus dorianus). Dendrolagus mbaiso bahkan ditetapkan dalam Daftar Merah Dewan Konservasi Alam Internasional (IUCN) sebagai satwa hampir punah.
Sejauh ini teridentifikasi sebanyak sembilan kelompok suku pedalaman penghuni taman nasional ini di antaranya Asmat, Dani, Dani Barat atau Lani, Amungme, Sempan, dan Moni. Mereka merupakan bagian dari kebudayaan masa lampau berumur 30 ribu tahun. Kemungkinan masih ada lagi masyarakat yang hidup terpencil di hutan belantara ini dan belum mengadakan hubungan dengan manusia modern.
Berada di pertemuan dua lempeng benua, Australia dan Pasifik, TN Lorentz telah menciptakan sebuah morfologi kawasan menakjubkan yang dikenal sebagai Pegunungan Tengah. Kawasan ini sungguh unik dan memiliki dinding-dinding tebing curam serta cekungan-cekungan membentuk danau-danau, seperti pegunungan vegetasi alpin. Bukan itu saja, di kawasan pesisir pantainya di Laut Arafura, terdapat ribuan hektare hutan mangrove yang masih terjaga keasriannya dan sebagai rumah bagi jutaan ikan serta sebagai sumber penghidupan masyarakat sekitar.
Ekspedisi Lorentz
Taman nasional ini diabadikan dari nama biolog Universitas Utrecht, Belanda, Hendrikus Albertus Lorentz yang hidup antara 1871 hingga 1944. Pria kelahiran Oudewater itu penasaran dengan pengakuan pelaut negaranya, Jan Cartenszoon, yang menyaksikan jajaran pegunungan sangat tinggi saat melintasi selatan Pulau Papua di Laut Arafura dalam pelayarannya dari Ambon ke Nugini pada 1632.
Carstensz, demikian ia biasa disapa, mengaku penasaran dengan barisan gunung-gunung yang ia lihat dari teropongnya karena di puncaknya seperti diselimuti salju. Di Belanda saat itu, pengakuan Carstensz dianggap sebagai hoaks saja. karena mustahil di kawasan tropis ada salju.
Pengakuan carstensz itu pun menarik hati Lorentz untuk membuktikannya dan ia pun mempersiapkan sebuah petualangan. Ekspedisi pertama diluncurkan pada 1903 dipimpin langsung oleh Lorentz dengan kawalan puluhan tentara untuk melindungi mereka dari serangan suku-suku pedalaman. Mereka menjejakkan kaki di Papua pada Juli 1907. Ikut bersama mereka geolog sekaligus minerolog Jerman, Carl Ernts Arthur Wichmann.
Menurut arkeolog senior dari Balai Arkeologi Papua Hari Suroto, Lorentz bersama tim mulai menyisir dari tenggara melalui hulu Sungai Noord atau Sungai Utara dan mendirikan perkemahan, Camp Alkmaar, sebagai titik persiapan untuk misi berikutnya. Tiga tahun kemudian Sungai Noord diganti namanya menjadi Sungai Lorentz.
Perjalanan Lorentz dan kawan-kawan dilanjutkan dengan berjalan kaki melintasi hutan tropis. Meski berhasil menembus pedalaman, ekspedisi dihentikan karena semua tim terserang penyakit beri-beri akibat kekurangan vitamin dan kehabisan stok makanan.
Dengan persiapan lebih matang, Lorentz kembali menjelajah pedalaman Papua untuk menemukan gunung bersalju pada 8 Oktober 1909. Kali ini ia ditemani pelaut senior Belanda, Jan Willem van Nouhuys serta 61 tentara dipimpin Letnan D Habbema berikut 82 orang suku Dayak sebagai pengangkut barang atau portir. Pada ekspedisinya ini, Lorentz menemukan sebuah danau besar seluas 224 ha dengan keliling mencapai 8 km2, berair jernih. Ini adalah danau pertama di ketinggian 3.300 mdpl yang ia jumpai dan kemudian dinamai Danau Habbema, meski masyarakat sekitar menyebutnya Danau Yuginopa.
Lorentz dan tim berhasil menemukan puncak gunung bersalju setelah menempuh jalur selatan selama sebulan. Ia mencatat ketinggian puncak yang dinamai Wilheminatop atau Wilhemina Peak pada 4.460 mdpl meski kemudian diralat menjadi 4.750 mdpl pada penjelajahan berikutnya. Bagi suku Dani, puncak tersebut sudah lebih dulu mereka namai, yaitu Ettiakup. Pada 1963, Wilheminatop berganti nama menjadi Puncak Trikora dan berada di Pegunungan Maoke, wilayah Papua Barat. Maoke sendiri dalam bahasa setempat berarti salju.
Warisan Dunia
Taman Nasional Lorentz tak hanya milik Indonesia dan Papua saja, melainkan sudah menjadi milik dunia juga karena merupakan Situs Warisan Dunia. Pengakuan itu resmi diumumkan oleh Badan PBB untuk Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan, UNESCO, pada 4 Desember 1999. Ini menjadi Situs Warisan Dunia yang ketiga di Indonesia dalam bentuk taman nasional setelah Taman Nasional Ujungkulon di Kabupaten Lebak, Banten, dan Taman Nasional Komodo, Kabupaten Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur.
Sebuah dokumen proposal setebal 115 halaman pun disiapkan oleh Menteri Pertambangan dan Energi Kabinet Reformasi Pembangunan Kuntoro Mangkusubroto pada 7 September 1998. Judulnya “Taman Nasional Lorentz Diajukan Pemerintah Indonesia untuk Diusulkan sebagai Daftar Warisan Dunia”. Proposal itu pun mendapat stempel bernomor 955 yang diterima Unit Dokumentasi Pusat Warisan Dunia UNESCO pada 16 September 1999.
Proposal kemudian dibawa ke Sidang Ke-23 Komite Konvensi Warisan Dunia UNESCO di Marrakesh, Maroko, 29 November–4 Desember 1999. Sidang dihadiri 21 negara anggota, di antaranya, Australia, Belgia, Kuba, Tiongkok, Thailand, dan Mesir. Sejumlah negara seperti Argentina, Jerman, Jepang, dan Indonesia ikut hadir berstatus sebagai peninjau.
TN Lorentz berhasil terpilih sebagai Situs Warisan Dunia menyisihkan TN Salonga di Kongo, TN Pegunungan Rwenzori (Uganda), TN Iguacu (Brasil), dan pusat kebudayaan Hampi di India. Tak hanya Situs Warisan Dunia, TN Lorentz juga didaulat sebagai Taman Warisan ASEAN lewat komunike bernama Deklarasi Taman Warisan ASEAN yang disepakati seluruh anggota ASEAN dalam sidang di Yangon, Mynmar, 18 Desember 2003.
Sejak ditetapkan sebagai Situs Warisan Dunia dan Taman Warisan ASEAN, jumlah kunjungan wisatawan minat khusus terus bertambah. Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dalam catatan terakhir di 2015 menyebutkan, terdapat 2,3 juta kunjungan turis ke TN Lorentz. Mereka umumnya melakukan wisata penjelajahan dan pendakian ke puncak-puncak bersalju Lorentz.
Melihat beragam kekayaan hayati di dalamnya, maka sudah saatnya kita menjaga erat permata paling berharga yang dimiliki bangsa ini di ujung timur Nusantara, Taman Nasional Lorentz. Agar pusat biosfer dunia itu dapat terus terjaga kelestariannya, sehingga bisa dinikmati keanekaragaman hayatinya oleh bangsa Indonesia hingga ratusan tahun ke depan.
Penulis : Anton Setiawana Redaktur : Ratna Nuraini/Elvira Inda Sari