PROSESNEWS.ID – Hari ini, 23 tahun yang lalu, tepatnya 12 Mei 1998, empat mahasiswa Trisakti meninggal dunia usai tertembak di dalam kampus saat aksi demonstrasi menentang pemerintahan Soeharto.
Peristiwa ini dikenal sebagai Tragedi Trisakti. Tragedi Trisakti selama ini dianggap sebagai pemicu semakin meluasnya gerakan Reformasi yang berujung kejatuhan Soeharto.
Kekejaman aparat pada aktivis kala itu menjadi tragedi berdarah yang masih diingat hingga kini. Bahkan keadilan bagi keluarga masih dinanti.
Krisis moneter Aksi mahasiswa semakin terbuka dan berani sejak Soeharto diangkat menjadi presiden untuk ketujuh kalinya dalam Sidang Umum MPR pada 10 Maret 1998.
Para aktivis geram karena pemerintah dinilai telah melakukan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN), hingga menyeret negara ke dalam krisis moneter.
Sebelum terjadi Tragedi Trisakti, terdapat Tragedi Gejayan yakni salah satu aksi yang digelar untuk memprotes kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) dan Tarif Dasar Listrik (TDL).
Satu orang tewas dalam tragedi yang terjadi di Yogyakarta itu dan kemudian memicu aksi di beberapa daerah, termasuk Jakarta (tragedi Trisakti).
Kronologi Tragedi Trisakti Mengutip Harian Kompas, (13/5/1998), aksi dilakukan oleh mahasiswa, dosen, pegawai, dan para alumni Universitas Trisakti pada 12 Mei 1998 mulai pukul 11.00 WIB di halaman parkir.
Agenda aksi hari itu salah satunya mendengar orasi dari Jenderal Besar AH Nasution, tapi tidak jadi karena absen. Lalu diisi dengan berbagai orasi dari para guru besar, dosen, dan mahasiswa.
Kemudian sekitar pukul 13.00 WIB peserta aksi keluar dari kampus menuju ke Jalan S Parman, Grogol (yang persis berada di depan kampus) dan hendak menuju gedung MPR/DPR Senayan.
Barisan paling depan terdiri atas para mahasiswi yang membawa mawar dan membagikannya pada aparat kepolisian.(kompas.com)